Selasa, 14 Juni 2011

JANJI HATCHI


Kalau kamu datang, tunggu aku di bawah pohon nangka. Aku sudah membuat janji untuk bertemu di gang bakwan depan sekolahan. Kamu ingat? Kang Yanto, temanku yang baik hati itu sudah memberi segala macam persiapan kepadaku untuk bertemu denganmu. Tak perlu berlama-lama, kamu bisa pulang setelah apa yang kukatakan selesai. Setelah itu, kamu memiliki janjiku. Janji yang terakhir.

Hatchi, Sudah dua sabtu aku menunggumu ditikungan ketiga, dibawah pohon nangka. Gelisah dan sendirian. Lima batang coklat kuhabiskan sembari berharap sosokmu muncul dari balik belokan, tetapi pada batang yang kelima, aku tahu, kamu tak akan muncul. Sia-sia saja menunggu. Maka aku pulang dalam diam, dan tertidur lepas ashar dimatras tempat tidurku. Sementara teman-temanku yang lain bersendau gurau diluar ruangan dengan mereka yang telah selesai mengerjakan ulangan. Diam-diam, aku masih menunggumu. Kamu tak pernah datang. Kebawah pohon nangka dimana kita biasa menyapa dipelipiran jalan, atau di depan masjid sekolahku.

Surat itu kuselipkan dibawah pot bunga di samping wastafel aula yang tersembunyi atau terkadang didalam buku-buku yang kupinjamkan kepadamu. Disitu, janjimu kita bertukar pesan. Atau sajak. Sebab katamu, kamu lebih suka membaca surat tanganku yang rahasia, ketimbang membaca pesan pendekku di ponselmu yang sulit dirahasiakan. Atas nama rahasia pula surat-suratmu kutitipkan didalam kotak sepatu tua dan kusembunyikan rukut dalam lemari plastic khas anak kos. Tahukah kamu, kotak sepatu itu sudah hampir buncah, sebab kita bersurat tanpa jeda. Sampai kau berhenti muncul di aula dekat ruang kelasmu. Atau tepatnya, berhenti memeriksa pot bunga yang letaknya tersembunyi itu. Aku tahu, sesekali kamu masih datang ketika aku tak ada.

Ah, aku tahu, tak sepantasnya aku besar kepala, meskipun kamu senantiasa tersenyum malu menunduk kepadaku, menyatakan elok dan anggun perangaimu, setiap kali melalui markas besarku itu. Kebanyakan dari mereka yang datang hanya ingin suatu pengetahuan baru, rumus sistemik integral parsial, efek hamburan Compton yang membingungkan, bahkan ada yang menanyakan neraca lajur yang pasti aku tidak paham tentangnya, bukan persahabatan, makna kehidupan atau bahkan cinta. Tetapi aku telah terlanjur memaknai bunga krisan dilereng gandul itu sebagai rendez-vous. Barangkali karena bagiku kamu berbeda dengan orang yang lain. Sebab rasanya bukan jawaban ilmiahku yang ingin kau ikat. Ada yang lebih dari itu. Sebab itulah aku desak diriku untuk bertanya.

Tapi sejak itu kamu tak lagi muncul untuk sekedar bertanya padaku tentang masalah – masalah yang merundungmu. Apakah karena aku telah lancang bertanya? Apa lelaki sepertiku tidak punya hak utnuk mencintai? Percakapan disenja layu itu berakhir dengan diam. Kamu ranggas dan mengeras, seperti batu. Lalu lenyap sama sekali. Kawanku Erlin sudah bosan bertanya tentang kamu, sebab tak pernah kugubris. Akhir-akhir ini, ia bahkan bersikap cuek padaku. Sebab aku sudah enggan berkumpul. Meski tanpa hal itupun teman-teman tetap menganggapku sebagai orang yang malas berkumpul.
Hatchi, Aku tahu kamu membaca suratku, Aku tahu kamu perlu waktu untuk berfikir. Tapi sabtu depan adalah sabtu terakhir yang dapat aku berikan. Aku tak bisa menunggu selamanya. Erlin mengancam akan menghentikan program karya ilmiah untuk deadline yang terakhir kalinya, kalau aku terus-terusan keluar ijin ketika riset sedang berlangsung. Lagi pula ia mungkin takut aku akan berhenti. Aku bukan orang kaya, Hatci. Aku masih punya mimpi untuk membahagiakan orang tuaku di Bulukemba sana. Berangan-angan bisa memensiunkan emak-bapak-ku dari ladang orang. Biarlah mereka hidup enak. Biar aku saja yang bekerja kelak. Bukankah aku pernah bercerita?
Maka, Hatchi, Temuilah aku ditikungan ketiga, dibawah pohon nangka. Setelah itu kita bisa berbicara. Tidak terdiam dengan surat itu. Tidak juga dengan pesan pendek sebab aku akan mencoba berani. Tapi aku akan bebicara di sebuah pelataran di gang bakwan, yang sudah kupersiapkan dengan sebuah kejutan. Sedikit orang mungkin akan melihat untuk memperhatikannya. Tapi selebihnya, kita sendirian. Seperti biasa. Aku akan berbicara untuk memilikimu sepenuhnya.

Sabtu sore terakhir. Semua sudah rapi kusiapkan. Entah kenapa aku bisa begitu yakin kamu akan datang. Setelah adzan asar selesai dikumandangkan aku sudah terjaga, lebih awal dari biasa, dan buru-buru turun ke gang bakwan.
“Apa kamu yakin, dia pasti datang?” Tanya Kang Yanto setelah tawanya habis, ketika aku tergopoh-gopoh datang padanya untuk memastikan. Rencana ini memang kususun bersama Kang Yanto. Hanya dengannya aku berani bercerita. Dulu Kang Yanto sama sepertiku, tak seperti Erlin yang judes dan pandai berhitung. Karena itu ia bisa memahamiku.
Aku mengangguk. Kang yanto barangkali menangkap kecemasan berkilat diwajahku.
“Sudah ada kawan untuk memberikan kejutan?” pertanyaan lelaki kekar pegawai baru kancab dinas pendidikan yang juga mantan pemain sepak bola yang baik hati itu membuatku tercekat. Bukan karena aku alpha untuk mengatur rencana. Tapi oleh angin dingin yang tiba-tiba menghantam tubuhku. Memerihkan jantung. Entah kenapa. Barangkali sebab dengan kedatangan kawan-kawanlah yang akan menggetarkan pernyataan terakhirku denganmu.
“Sudah, Ari Cs nanti yang pergi. Aku akan bel dia kalau Hatchi telah datang.”
“Salam untuk Pak Kadin, ya kang. Masih tugas dia?”
Gorila coklat yang kukunjungi itu mengangguk. Aku beranjak dan melambai. Kurasakan wajahku kaku, entah kenapa.

Aku berbelok kebarat, keluar gang, menyusur jalan raya dan mendaki keutara, melewati Batas Kota. Pekat masih terus tinggal dipipiku. Tetapi dingin menyusup dari hutan-hutan jauh. Hatchi, semuanya sudah siap. Tinggal diriku sendiri yang mesti berkemas.
……………………………………………………………………………………………………
Jam empat lebih lima belas. Susah payah, kujejalkan novel hijau seharga Rp. 25.000,- yang kubeli saat wonogiri fair ke dalam tasku. Menurutku buku abstraksi yang kau ceritakan dulu itu yang layak dijadikan saksi. Lalu aku menyelinap ke laboratorium fisika untuk ijin ke pak Roghi dan menyerahkan paperku kepada erlin. Muka erlin sedikit cemberut karena dari pagi sudah tiga empat kali mengajakku berdiskusi dan kutolak halus-halus, tapi toh di ijinkannya aku pergi, setelah kujanjikan untuk membawa pekerjaanku besok pagi.
Pukul empat tepat, aku sudah duduk disana, menunggumu ditempat yang dijanjikan. Jantungku berdegup kencang. Keringatku mengalir. Sambil merunduk, kubayangkan kamu dan pertemuan kita nanti. Kamu akan datang dengan kerudung ungumu yang coraknya kuingat betul. Setelah itu kamu akan menyapa seprti biasa. Aku akan menelpon Ari Cs. Aku akan memintanya bersiap-bersiap untuk menjalankan plan-B. Sembari menunggu mereka datang kita bisa duduk-duduk di depan teras sekolah, bercanda ria dengan hal yang sifatnya “ngalor-ngidul”. Aku akan bertanya kemana saja kamu selama ini? Apa ada suatu masalah antara kamu dan aku? Dan kamu akan tersenyum tipis seraya mengalihkan pandanganmu. Itu adalah isyarat kalau kamu akan berbicara sesuatu.

Kubuka tasku untuk melihat HP dan buku kusutku. Di jalan anak-anak lalu-lalang dengan segala kesibukan anak SMA. Sesaat, aku seperti melihat dirimu bersama seorang lelaki melintas dengan Honda Tiger melesat didepanku, tapi kalau toh benar, kamu pasti akan berhenti dan menghampiriku. Kuhembuskan nafasku kuat-kuat ke udara. Kamu mungkin terlambat, tapi pasti datang. Sesuatu diperutku meloncat girang, seperti kupu yang menggeliat dari kepompongnya.
Pukul setengah lima kita akan berkumpul di gang bakwan, didalam suasana yang hangat. Berharap engkau akan terkesan dengan keanehan yang akan dibuat.

Ya, Hatchi. Bukankah sudah kukatakan kepadamu, Aku ingin memilikimu?Tak Perlu takut kau kubuat 
kesepian karena aktivitasku, sebab aku disiplin dalam memilah waktu, kan kuatur ulang jadwal keseharianku. Aku juga tidak akan banyak menuntut lazimnya orang berpacaran yang lain. Toh kamu sendiri sudah punya pendirian yang kuat. Hati kecilku tak pelak berharap kamu akan menerimaku apa adanya, sekedar mengungkapkan rasa dan bom waktu yang menetap dikalbuku, tapi jika itu terlalu muluk-muluk, aku bisa tinggal seperti ini saja. Tetap dengan mimpiku membahagiakan orang tuaku dan memensiunkan emak-bapakku dari ladang, tanpa ada gangguan batin. Bagiku mengenalmu saja sudah cukup.
Pukul setengah lima, orang-orang mengalir tak sederas tadi; kini mereka parkir di kos-kosan masing-masing. Kamu tetap saja tak ada. Perutku mual dan bersiul menahan lapar dan dingin. Dimana kamu? Aku tak seberapa peduli pada lapar, kita bisa makan bersama, nanti. Tapi kenapa kamu belum juga datang? Bulukudukku berdiri. Angin menusuk. Dilangit barat, senja merah mulai beriring. Sore ini akan segera berakhir.

Dekat jam lima sore. Jalanan sepi, sudah terlampau larut. Kubuang buku itu jauh-jauh ke dalam pembuangan, sebelum berjalan mendaki jalan nakula. Sore ini kuputuskan kembali ke lab percobaan, tempatku membuang segala emosi dan melampiaskannya. Aku bisa memakai computer disana, membuka instrument praktikum yang rusak bukan karena tangan praktikan tetapi karena terlalu lama disimpan. Bila ada teman-teman disana barangkali aku akan berubah pikiran. Menghabiskan perlengkapan yang sudah disiapkan untuk sekedar hiburan. Sembari tersengal meratapi nasib diri ini.
Aku berbelok ketoko pak broto untuk membeli minuman dan roti. Ada duit seratus ribu sisa beasiswaku kemarin. Malam ini aku bisa mentraktir teman-teman seperjuanganku di bakso pak tukang. Didepan pojok kelasku yang bawah dalam jalanku ke laborat. Ada sepasang sejoli yang sedang bercengkrama, bersendau gurau nampak dari kejauhan. Aku merasa mengenal satu dari dua orang itu, maka aku berhenti sejenak untuk memperhatikan mereka. Sepasang manusia itu masih tertawa-tawa.
“Pak prof!!” si laki-laki menyapaku. Pram, pelajar kelas sebelah yang terkenal gentle dan kaya. Aku melambai dan tersenyum tipis.
Ya, aku tahu benar kondisi itu baginya. Badanku meradang, keringat dingin bercucuran dan gejolak demam mulai menyerangku, apakah ini rasanya badai cinta? Melebihi suasana badai catrina. Gumamku dalam hati. Bersenang-senanglah kamu hari ini dan selamanya.
Wanita berkerudung coklat yang masih memandangku dengan wajah putih. Ya, itu memang kamu Hatchi. Tapi ku tak lagi mengenalmu. Ku buang roti pisangku yang masih setengah ke tanah. Sebelum berjalan menuju laborat tempatku berkarya, tanpa menoleh lagi.

By Kiswanto

Tidak ada komentar:

Posting Komentar