Rabu, 15 Juni 2011

KAMPUS KONSERVASIKU DAN AKU : AKU TAKKAN MEMBIARKANNYA DIRUSAK (ORIGINAL ESSAY)


KISWANTO          
(Jurusan Fisika 09)                                                                                       
 Universitas Negeri Semarang
Nama saya  Kiswanto, sebelum saya kuliah di Universitas Negeri Semarang dan menetap di daerah Sampangan, saya berasal dari sebuah kabupaten di ujung timur Provinsi Jawa Tengah, yaitu Kabupaten Wonogiri, daerah yang terkenal akan komoditas gapleknya dan merupakan kawasan sabuk hijau dari daerah aliran sungai Bengawan Solo (Wikipedia.org/kabupaten wonogiri).
Seperti yang kita ketahui bahwa setiap daerah ingin maju dan mengembangkan potensi di daerahnya agar roda perekonomian melaju lebih kencang. Namun, jika aspek kelestarian lingkugan tidak diperhatikan maka bencanalah yang akan menghampiri, bukan profit yang akan melambungkan anggaran belanja daerah, bukan pula sebuah nama besar sebuah kota yang mampu mengelola dan meningkatkan kehidupan ekonominya, sehingga daerah lain terinspirasi untuk belajar dan melakukan telaah perekonomian pada pemerintah setempat.
Pada tahun 2008, Pemkab Wonogiri melakukan hubungan kerja dengan Pemerintah Republik Rakyat Cina (RRC) mengenai investasi dan rencana pembangunan Pabrik Bioetanol berbahan baku singkong yang pertama di Indonesia (Kedaulatan Rakyat, 26 Mei 2008). Setelah diratifikasi dan proyek akan segera dilakukan, diambillah kawasan hutan Kethu sebagai tempat pabrik berproduksi, sebenarnya kontroversi sudah mulai muncul sebab kawasan tersebut sebelumnya merupakan kawasan hutan lindung yang pada akhirnya dialihfungsikan sebagai hutan produksi, dan direncanakan sebagai wahana pelangi dunia pada masa pemerintahan Presiden Megawati, namun alih-alih menguntungkan, proyek yang didanai oleh bank dunia tersebut terhenti karena masalah krisis, kemudian pada akhirnya menimbulkan penyesalan, yaitu kerusakan lingkungan berupa hutan gundul yang sulit ditanami kembali dan semakin panasnya suhu daerah tersebut.
    Belajar dari pengalaman itu, sepertinya pemkab setempat bersifat ‘pelupa’, mereka tidak ingat pada pelajaran masa lampau. Beruntunglah pelajar-pelajar dan LSM masih mau mengingatkan mereka dengan melaporkannya kepada menteri kehutanan tentang rencana  yang terkesan ‘diam-diam’ dan ingin menyembunyikannya dari pihak kehutanan. Konflik kepentingan antara pihak kehutanan yang membatalkan izin reklamasi dan tukar guling  lahan dengan pemkabpun terjadi. Alasan peningkatan pertumbuhan perekonomian yang dilontarkan pihak pemkab tetap tidak membuat dinas kehutanan dan balai pengelolaan DAS Bengawan Solo berupah pikiran, disini peran masyarakat dan pelajar/mahasiswalah yang terpenting dengan selalu memberikan dorongan dan masukan kepada pihak yang mengelola hutan.
Sebenarnya saya sangat ketakutan saat bencana alam terus mengancam negeri ini, lebih – lebih jika diakibatkan oleh ulah manusia, seperti illegal logging, penambangan secara membabi buta dll, yang mengakibatkan banjir bandang dan tanah longsor atau bencana lainnya. Pengalaman diwaktu kecil yang saya alami beserta keluarga sepertinya menimbulkan trauma yang mendalam, waktu itu tanah longsor dan banjir bandang menghancurkan seluruh desaku yang menimbulkan ketakutan, kepayahan, dan memeras air mata. Saya berfikir dan merenung dan menarik kesimpulan bahwa ini adalah hasil yang kita petik dari buah yang kita tanam, akibat yang harus diterima semua orang akibat ulah segelintir orang yang tidak menghiraukan imbauan untuk tidak menebang hutan, sayangnya tidak semua orang mau berfikir seperti itu. Keserakahan dan nafsu untuk mendapatkan kenikmatan sesaat, nampaknya masih menetap diotak mereka. Maka dari gambaran tersebut sebagai mahasiswa, hendaknya kita mampu belajar  dan peduli terhadap masalah lingkungan yang ada di kampus kita. Semua itu memerlukan perhatian dari berbagi pihak, termasuk kita sebagai mahasiswa yang mempunyai posisi tawar yang cukup untuk mengawasi semua peristiwa yang berkaitan dengan lingkungan di tempat kita menuntut ilmu.


 ‘Ekoterorisme’ ancaman bagi kampus konservasi
Gelar tersebut sepertinya pantas saya anugerahkan kepada para perusak lingkungan, pihak yang ngotot membabat hutan dengan alasan ekonomi atau birokrat yang berencana ‘menanam’ gedung di lahan yang sudah dijadikan hutan pendidikan dan perusak ekologi lainnya, Terlepas pada soal peduli atau tidaknya warga kampus terhadap lingkungan sekitarnya, atau ‘bebalnya’ mahasiswa dan pengambil kebijakan terhadap perlunya melestarikan lingkungan, yang jelas, degradasi lingkungan, pencemaran udara akibat kendaraan bermotor yang berlalu-lalang, dan gedung baru yang akan ditanam, memang merupakan agenda yang harus dituntaskan. Bila perkara yang mengancam lingkungan ini tidak dicarikan solusi, maka sama saja dengan memelihara teroris alam, atau istilahnya adalah ekoterorisme.
Ekoterorisme bisa lebih ‘jahat’ dari terorisme politik yang pernah meledakkan Bali dan hotel J.W.Mariot. Alasannya, kerugian akibat bencana mencakup kerugian material dan nyawa yang rutin, setiap tahun, bahkan berpuluh tahun. Pada tahun 2003 saja berdasarkan data Direktorat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi, dari januari hingga pertengahan Desember 2003 telah terjadi bencana longsor diseluruh Indonesia , 70 persennya di Provinsi Jawa Barat. Bencana memakan korban jiwa176 orang dan luka 93 orang. Bandingkanlah dengan bencana ‘terorisme politik` yang menyebabkan polisi akan berbondong-bondong mencari pelakunya hingga kepelosok bumi. Sebaliknya, jika rumah polisi dilanda musibah ekoterorisme, misalnya terendam banjir, pencarian pelaku tidak pernah diadakan.
Contoh tersebut saya ambil, karena hal ini ada korelasinya dengan sebuah papan yang bertuliskan ‘akan dibangun gedung baru’ pada beberapa tempat yang notabene ada pepohonan yang tumbuh rindang di area kampus UNNES. Pada kasus tanah longsor di Jawa Barat, setelah melalui kajian yang mendalam, ternyata faktor penyebabnya salah satunya adalah pembangunan perumahan dan vila yang tidak memperhatikan kondisi tanah pada tempat tersebut. Bila kita kaitkan dengan program pembangunan gedung baru yang ada di UNNES, khususnya pada area hutan pendidikan, degradasi lingkungan suatu saat mungkin akan terjadi, meski tak sama dengan yang ada di Jawa Barat.
Memang sulit mencari siapa sesungguhnya yang dijadikan tertuduh dalam bencana ekoterorisme. Oleh sebab itu, yang terbaik yang harus kita lakukan adalah melakukan pengelolaan lingkungan dalam program jangka panjang (long term program) yang memerlukan kearifan pengambilan kebijakan dan kepemimpinan yang mempunyai visi jauh kedepan
Lingkungan hidup dan sumber daya alam yang baik adalah warisan dari anak cucu manusia. Sayangnya, boro – boro bisa di wariskan, kalau ternyata kakek dan om-om telah merusak dan menghabiskan SDA tersebut. Lihat saja, pada kenyataanya, bencana – bencana alam yang terjadi seperti berbanding lurus dengan kerusakan alam dan ekologi yang dialaminya.
Oleh sebab itu, perumus ekologi dalam rumus globalnya mengatakan, untuk mencegah banjir, sebagaimana diatur oleh UU No 41 tentang kehutanan, jumlah hutan seharusnya adalah 30% dari luas wilayah. Adik –adik kita (yang masih kecil) sudah tahu bahwa di Papua (sebelum bencana banjir bandang di Wasior akibat pembalakan liar terjadi), dimana areal hutannya masih mencakup 80% wilayahnya ternyata tidak pernah mengalami banjir. Tetapi di Jawa, Luas kawasan yang masih berhutan atau lahan yang masih ditutup pepohonan hanya 4% (Badan Planologi Dephut tahun 1999/2001). Maka tidak aneh bahwa jawa merupakan wilayah yang paling ‘babak belur’ dilanda bencana ekoterorisme. Bagaimana dengan kampus kita yang dikatakan ‘kampus konservasi’? Berapa perbandingan area yang ditutupi pepohonan dengan luas UNNES secara keseluruhan? Dan berapa persen area hijau jika dikurangi dengan pedirian gedung baru pada hutan buatan yang ada?.
Saya selalu berpikir tentang apa yang seharusnya kita lakukan untuk menciptakan tempat tinggal yang nyaman, rumah yang aman di lingkungan kita bahkan diseluruh dunia. Hal ini sangat menarik dan cukup signifikan bahwa kestabilan lingkungan mempunyai dua arti yaitu, kenyamanan hidup dan perdamaian adalah satu dan sama diseluruh dunia. Saya berpikir, kita harus ingat bahwa lingkungan yang stabil bukanlah hadiah yang datang tiba-tiba. Kita harus menciptakannya. Itu mengapa beberapa langkah progressif perlu dilakukan.
Birokrat Sadar Lingkungan
Kunci paling penting dalam menghadapi ancaman kerusakan lingkungan adalah melestarikan hutan disekitar kita, apapun jenisnya. Hutan merupakan anugerah yang paling mahal dan perlu dua atau tiga generasi untuk menumbuhkannya kembali. Suksesi tumbuhmya hutan alam dihitung baru akan pulih setelah ratusan tahun, itupun jika faktor-faktor keanekaragaman hayati dan kompleksitas ekosistem masih tersedia sebagai syarat untuk kembalinya ekosistem tersebut.
Oleh karena itu, sebagai mahasiswa yang mencintai lingkungan tak ada salahnya jika mengimbau agar pada pemilihan presiden kampus, atau otoritas yang lain seperti rektor atau dekan supaya memilih calon yang mempunyai reputasi dan concern lingkungan dan hutan yang tinggi. Bukan sebaliknya, menunjuk calon yang bisa seenaknya merekomendasi dan merestui penebangan hutan untuk ‘penanaman’ gedung atau kebijakan lainnya yang merugikan lingkungan.
Mahasiswa yang mampu Mewujudkan Kampus Berwawasan Lingkungan
Kampus berwawasan lingkungan memang menjadi dambaan setiap orang, Siapa yang tidak merindukan sebuah kampus dengan lingkungan yang asri, begitu segar udara saat kita menghirup udara dalam-dalam, begitu nyamannya duduk dibawah pohon yang rindang sambil membaca buku kesukaan kita, apalagi kalau kita dapat menikmati kicauan burung, atau  menyaksikan kumbang dan kupu-kupu yang berpindah-pindah menyinggahi bunga.
Pengetahuan tentang kondisi lingkungan
Untuk merealisasikan keadaan itu, kita sebagai mahasiswa yang berwawasan luas hendaknya tahu perkembangan pembangunan fisik yang membawa dampak lingkungan yang buruk. Kicauan burung pada lingkungan sekitar kampus kita dapat dijadikan indikator alami yang dapat mencerminkan salah satu kelengkapan mata rantai ekosistem. Jika berjumpa burung liar terutama jenis pemakan serangga, yang umumnya merupakan burung berkicau di suatu tempat, disitu pasti pula ada pohon yang cukup rimbun, ada serangga penyerbuk, kupu-kupu, atau kumbang-kumbang sebagai mangsa.
Rantai makanan yang lain, pasti ada pohon berbunga dan buah-buahan yang cukup bersih dan tidak tercemar pestisida. Oleh karena itu memungkinkan jenis-jenis serangga berkembang biak, namun serangga itu bertindak sebagai hama karena burung dan serangga lain dapat menjadi kontrol biologis alami (biological control), ledakan populasi serangga tersebut.
Sebaliknya, jika burung sepi bernyanyi pasti ada sesutau yang tidak beres. Perlu diperiksa apakah tanaman yang ada disekeliling pemukiman atau kampus tersebut kurang akomodatif untuk burung sehingga tidak disukai, kedua, apakah jumlah pohon cukup banyak untuk untuk burung menetap sebagi tempat hidup, dan ketiga, apakah kawasan tersebut sudah tercemar kondisi lingkungannya, baik oleh pestisida maupun kadar polusi yang berlebihan sehingga serangga tidak dapat hidup. Dengan tidak adanya serangga sebagai mangsa, praktis burung-burung berkicaupun tidak ditemukan.
Pendekatan Ekologi
 Untuk membangun lingkungan (tidak hanya kampus) yang layak, perlu dipertimbangkan pendekatan ekologi. Keberhasilan perencanaan suatu kampus dengan pendekatan ekologi ini akan berdampak pada lingkungan sehingga dapat dikelola secara berkelanjutan.
Dua langkah penting pendekatan ekologis yang perlu dilakukan mahasiswa dan pihak terkait antara lain: pertama, pemantauan perencanaan dan pengelolaan tata kampus untuk memenuhi kebutuhan fisik, sosial, dan kebutuhan lain dengan cara memperhatikan keseimbangan antara bangunan fisik dan ekosistem.
Kedua, berusaha untuk mempertahankan kombinasi yang selaras antara unsur-unsur buatan manusia dan yang telah ada secara alami untuk mempertahankan habitat yang langsung atau tidak langsung diperlukan oleh semua orang dalam lingkungan tersebut. Kesimpulannya adalah, kampus yang sehat tidak terlepas dari suasana yang harmonis secara menyeluruh mengenai kondisi ekosistem maupun keadaan fisik lingkungan tersebut.
Akhirnya, saya mengucapkan terima kasih kepada organisasi yang menyelenggarakan lomba essay ini. Ini adalah kesempatan kedua saya untuk dapat menyumbangkan ide dalam usaha mempertahankan kampus konservasi ini. Bagi saya, siapa yang akan menang atau kalah adalah tidak penting. Semua peserta yang ikut dalam lomba ini adalah pemenang, perhatian, pemikiran dan kepedulian mereka tidak terhitung nilainya. Kehidupan yang lebih baik dan bersahabat dengan lingkungan merupakan agenda kita sebagai mahasiswa yang peduli terhadap lingkungan, kritikan dan celotehan kita merupakan bukti bahwa mahasiswa sebagai fungsi kontrol masih tetap hidup ditengah carut marut masalah  bencana dan lingkungan disekitar kita.
Saya akan melakukan yang terbaik untuk lingkungan ini, kampus konservasi ini, saya tidak akan membiarkannya dirusak karena saya tidak ingin mengulang kejadian pilu akibat bencana alam yang pernah saya alami.


DAFTAR BACAAN
BAPPENAS.1996.Biodiversity Action Plan: Indonesia.Jakarta: Bappenas.
Departemen Kehutanan.1994. Statistik Kehutanan Bidang PHPH. Jakarta : Dephut.
id.wikipedia.org/wiki/Hutan


SUMBER –SUMBER TULISAN
The Day After Tomorrow, lenyapnya Hutan Kita ( Koran Tempo, 7 Juli 2004)
Visi ‘Hijau’ Partai-Partai Politik ( Tropika Indonesia. Juni-Agustus, 2004)
Pemilihan Legislatif Berwawasan Lingkungan. (Sinar Harapan. 15 Maret 2004)
Konservasi, Bisnis Penuh Resiko (Pancaroba, No 8 Musim Kemarau, 1996)
Diambang Kepunahan( Koran Tempo, 5 Maret 2005)
JIKA PROYEK KAWASAN INDUSTRI KETU GAGAL ; Bupati Wonogiri Siap Mengundurkan Diri ( Kedaulatan Rakyat, Senin, 26 Mei 2008)

1 komentar: